Pages

Menyusuri jalan panjang Gunung Argopuro

Menyusuri jalan panjang Gunung Argopuro

Sore itu hujan menghampiri Desa Baderan, Kecamatan Sumbermalang, Situbondo. Dari desa kecil ini lah kami memulai pendakian ke salah satu gunung yang sudah ada di daftar pencapaian kami, Gunung Argopuro (3088 mdpl). 

Gunung Argopuro memang gunung yang amat terkenal di kalangan pendaki. Argopuro dikenal sebagai gunung dengan jalur pendakian terpanjang di pulau Jawa. Alamnya masih cukup liar dibanding gunung-gunung lainnya yang ada di pulau Jawa.



Perjalanan dimulai sore hari, saat para penduduk kembali dari ladangnya. Beberapa kali kami berpapasan dengan para penduduk lengkap dengan menggenggam arit dan jas hujan yang menutupi badan. "Lewat situ lebih cepat kalau mau ke Makadam, tapi hati-hati jalanan licin," ucap seorang warga kepada kami. Makadam ialah sebutan lain dari pintu masuk hutan Argopuro.

Di awal perjalanan, kami melintasi area perkebunan warga. Deretan lembah cantik yang tertutup hutan lebat menjadi pemandangan pertama kami. Lembah tersebut semakin mempesona dengan belasan air terjun kecil yang seakan belum terjamah kaki manusia.

Butuh waktu tiga jam perjalanan untuk sampai Makadam dari desa Baderan. Saat tiba di Makadam, jalanan menjadi lebih licin. Seringkali kami berpapasan dengan pengendara motor di sini. Rupanya ada jasa ojek untuk mengantarkan pendaki dari desa Baderan sampai ke Cikasur. Biaya ojek berkisar Rp 200 ribuan. Keberadaan ojek-ojek ini memang sempat dilarang. Namun, urusan pundi rupiah yang mengalir selalu mengatakan hal yang lain.

Karena hari yang semakin malam dan fisik tidak bisa dibohongi lagi, kami membuka tenda lebih cepat dari target awal. Target awal kami sebenarnya membuka tenda di pos mata air 1 yang jaraknya masih sekitar 1 jam perjalanan lagi. Argopuro memang gunung yang spesial bagi kami. Biasanya di waktu malam kami mempersiapkan diri untuk summit attack setelah sehari perjalanan. Namun, sampai di pos 1 saja belum.

Hari kedua

Pagi harinya, kami melanjutkan perjalanan panjang ini langsung menuju pos mata air 2. Sebelumnya, kami singgah di pos mata air 1 untuk mengambil air. Letak mata airnya berada di bawah dengan turunan yang cukup curam.

Jarak tempuh tiga jam perjalanan kami lalui untuk sampai di pos mata air 2. Terdapat area lapang yang mampu menampung hingga belasan tenda di sini. Kami memutuskan untuk beristirahat sebentar sebelum memulai perjalanan menuju titik poin selanjutnya, alun-alun Cikasur.


Perjalanan dari pos mata air 2 menuju Cikasur bisa dibilang trek yang paling menyenangkan. Jalur didominasi trek landai dengan beberapa kali keluar masuk hutan dan padang sabana yang luas. Saking senangnya, sampai terbesit rasa bosan. "Sampai kapan ini trek keluar masuk hutan, melipir bukit, kadang harus nanjak, sesekali turun," muncul pertanyaan tersebut di dalam hati.

Lebih dari empat jam perjalanan, tibalah kami di tempat yang sudah beberapa hari sebelumnya kami impikan. Kami tiba sekitar pukul 7 malam. Sudah banyak tenda-tenda yang berhimpitan di sini. "Tumben Cikasur seramai ini ya," ujar Bram, salah seorang pendaki asal Malang yang kami temui.

Alun-alun Cikasur memang membius siapa saja yang datang menghampirinya. Suasana langit bak planetarium dadakan bisa ditemui di sini. Untuk cerita lebih lengkap soal Cikasur, kamu bisa mengunjungi Sekelumit sejarah dibalik keindahan Cikasur

Menghabisi malam di Cikasur saat mengunjungi Argopuro adalah final dan mengikat. Tidak ada alasan lain untuk melewati begitu saja suasana damai di Cikasur.

Hari ketiga

Tak terasa kami sudah memasuki waktu 3 hari 2 malam perjalanan. Pagi hari tiba dan kami masih terlalu betah berada di padang sabana ini. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali berjalan di siang hari sambil menjemur barang bawaan yang terkadung terkena basahnya embun.

Tepat pukul 12 siang, kami melanjutkan perjalanan menuju checkpoint berikutnya, Cisentor. Dengan mengitari bukit terlebih dahulu dan menembus rapatnya ilalang selama 90 menit akhirnya kami tiba di Cisentor. Cisentor merupakan titik temu antara jalur dari Baderan dan Bremi.

Terdapat aliran sungai yang cukup deras mengalir. Banyak yang bilang sebelumnya kalau air di Cisentor itu tidak enak atau bau belerang. Tapi, setelah kami coba ternyata air di sini sangat enak dan tidak mengandung apa-apa.

Suasana di Cisentor
Konon, dahulu Cisentor merupakan tempat para sesepuh-sesepuh mengambil air untuk diberikan kepada Dewi Rengganis. Ya, Gunung Argopuro tak bisa dipisahkan dari legenda Dewi Rengganis. Banyak versi yang menjelaskan mengenai sosok Dewi Rengganis ini.

Versi pertama menyebutkan Dewi Rengganis adalah putri Raja Brawijaya yang sangat disayang dan sengaja dibuatkan istana yang berada puncak gunung lengkap bersama para pengikutnya. Versi lainnya ialah Dewi Rengganis ialah putri selir Brawijaya yang tak diakui. Saat dewasa, dia didampingi patih dan pengikutnya yang setia melarikan diri dan mendirikan istana di puncak Gunung Argopuro. Apapun ceritanya, siapa saja yang menginjakkan kaki di tanah Argopuro sepertinya sepakat bila gunung ini tak pernah lepas diselimuti aura magis.

Setelah beristirahat cukup lama di Cisentor, perjalanan kami lanjutkan untuk menuju Rawa Embik. Rawa Embik merupakan pos terakhir yang terdapat sumber mata air bila kita menuju puncak. Perjalanan dari Cisentor menuju Rawa Embik membutuhkan waktu sekitar dua jam. Sepanjang perjalanan, saya seakan terbius dengan pemandangan pohon-pohon mati di kanan dan kiri. Trek pun relatif menanjak dengan beberapa kali melewati padang ilalang.

Tak terasa, malam ketiga kami sampai di Rawa Embik. Rawa Embik merupakan padang ilalang yang cukup luas untuk mendirikan tenda. Suhunya sangat dingin di sini. Kami juga menaruh waspada ketika di Rawa Embik karena menurut kabar banyak babi hutan mencari makan di sini. Benar saja, banyak sisa-sisa galian tanah babi hutan dan beberapa kali kami mendengar suara-suara babi hutan dibalik rindangnya pepohonan.

Hari keempat

Pagi hari datang di Rawa Embik dengan suhunya yang menusuk tulang. Karena berkejaran dengan waktu, kami tak sempat merasakan hangatnya sang surya di Rawa Embik. Pagi-pagi sekali kami berkemas dan bergegas menuju sabana Lonceng. Sabana Lonceng ialah padang sabana yang lokasinya sangat dekat dengan tiga puncak di Gunung Argopuro, yakni puncak Rengganis, Arca, dan Argopuro.

Sebenarnya sabana Lonceng menjadi tempat yang ciamik untuk mendirikan tenda. Pemandangannya indah dan sangat dekat dengan puncak. Namun, ketiadaan sumber air menjadi penghalang. Untuk menggapai puncak Rengganis hanya dibutuhkan waktu 15 menit dari sabana Lonceng. Kami melewati trek berbatu dengan pepohonan besar di sekitar. Bila kabut turun, aura menjadi sangat magis.

Hutan tertutup kabut di sabana Lonceng
Kami di puncak Rengganis
Ketika tiba di puncak Rengganis, emosi kami meluap. Bahagia dan kepuasan seakan tak bisa terbendung. Jujur saja puncak Rengganis merupakan target utama saya dibanding dua puncak lainnya. Baru kali ini juga untuk sampai di puncak gunung membutuhkan waktu hingga empat hari perjalanan dengan beragam kisahnya.

Benar saja, di puncak Rengganis ini banyak ditemukan reruntuhan batu yang mengisyaratkan dahulu terdapat istana megah di sini. Batu-batu tersebut tersusun rapi walaupun sudah tidak utuh lagi. Belum diketahui secara pasti kapan bangunan di puncak Rengganis ini didirikan karena minimnya sumber informasi.

Setelah puas berfoto-foto di puncak Rengganis, kami sadar perjalanan panjang harus kami lanjutkan. Kami harus turun pulang menuju Bremi sekaligus bermalam sekali lagi di danau Taman Hidup. Perjalanan turun kami melewati pertigaan yang ke kiri merupakan jalur turun, sementara arah kanan merupakan jalur menuju puncak Arca dan Argopuro yang berdekatan.

Baca cerita selanjutnya Menyusuri jalan panjang Gunung Argopuro (2)

Lihat foto-foto perjalanan gue lainnya di sini

Tuan Kembara

Lebih baik jadi burung kecil yang terbang bebas daripada jadi raja yang tertawan. Tertarik di bidang dokumentasi, musik, historia dan humaniora.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar